2. Kegiatan Pemicu Pemanasan Global (BAB 3)

Kegiatan Pemicu Pemanasan Global

Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), kegiatan pemicu pemanasan global berasal dari aktivitas manusia. Emisi gas rumah kaca yang terus meningkat memperkuat efek rumah kaca alami menjadi ancaman serius bagi kestabilan iklim bumi. Saat gas-gas seperti karbon dioksida (COâ‚‚), metana (CHâ‚„), dan dinitrogen oksida (Nâ‚‚O) mencapai konsentrasi tinggi, atmosfer menjadi lebih tebal dan memerangkap panas matahari. Akibatnya, suhu permukaan bumi naik dan memicu berbagai kerusakan lingkungan.

Penggunaan Bahan Bakar Fosil sebagai Kegiatan Pemicu Pemanasan Global

Manusia mengandalkan batu bara, minyak bumi, dan gas alam untuk menghasilkan listrik, menggerakkan kendaraan, serta menjalankan kegiatan industri dan rumah tangga. Saat membakar bahan bakar ini, reaksi kimia antara bahan dan oksigen melepaskan energi panas yang berguna, tetapi juga menghasilkan karbon dioksida dalam jumlah besar. Misalnya, mobil yang beroperasi setiap hari terus-menerus mengeluarkan COâ‚‚ dari pembakaran bensin, begitu pula pembangkit listrik tenaga uap berbasis batu bara yang meninggalkan jejak karbon tinggi. Selain COâ‚‚, proses ini juga melepaskan polutan lain seperti sulfur dioksida (SOâ‚‚) dan nitrogen oksida (NOâ‚“) yang merusak kualitas udara, memperkuat pemanasan global, dan menyebabkan hujan asam.

Minyak bumi yang manusia manfaatkan merupakan kegiatan pemicu pemanasan global karena menghasilkan bensin, solar, avtur, plastik, pupuk, hingga kosmetik. Konsumsi besar-besaran di negara maju dan berkembang membuat emisi gas rumah kaca melonjak. Harga yang murah dan ketersediaan yang melimpah membuat banyak pihak tetap menggunakannya meski dampaknya buruk bagi lingkungan. Beberapa negara mulai beralih ke energi terbarukan seperti matahari, angin, dan air, tetapi transisi ini masih terhambat oleh masalah teknologi, biaya, dan kebijakan.

Penggunaan Klorofluorokarbon (CFC) sebagai Kegiatan Pemicu Pemanasan Global

Dulu, manusia memakai CFC secara luas dalam produk rumah tangga dan industri karena sifatnya stabil dan tidak mudah terbakar. Setelah CFC terbukti merusak ozon dan memperparah efek rumah kaca, negara-negara dunia sepakat membatasinya lewat Protokol Montreal 1987. Kini, banyak produk memakai HFC sebagai pengganti, tetapi senyawa ini tetap berpotensi memicu pemanasan global. Pencarian bahan pengganti yang aman dan berkelanjutan pun terus berlanjut.

Di stratosfer, radiasi ultraviolet menguraikan CFC dan melepaskan atom klorin. Atom ini bereaksi dengan ozon dan mengubahnya menjadi oksigen biasa. Ketika perlindungan ozon melemah, sinar UV menembus lebih dalam ke permukaan bumi dan mempercepat pemanasan atmosfer. CFC juga tergolong gas rumah kaca yang sangat kuat. Walau konsentrasinya kecil, daya pemanasannya bisa mencapai ribuan kali lipat COâ‚‚ dalam jangka 100 tahun.

Sebelum bahaya CFC terungkap, manusia memanfaatkannya sebagai pendingin pada lemari es, freezer, dan AC; bahan semprot dalam parfum, obat nyamuk, hairspray; bahan pengembang dalam plastik dan busa; serta pembersih elektronik karena sifatnya yang tidak menghantarkan listrik.

Kotoran Ternak

Hewan ternak melepaskan gas metana (CHâ‚„) dalam jumlah besar selama proses pencernaan dan penguraian kotoran, sehingga sektor peternakan menyumbang emisi gas rumah kaca secara signifikan. Limbah ternak dari populasi besar di berbagai negara membuat emisi meningkat tajam. Gas metana muncul dari fermentasi enterik, yaitu proses di perut hewan ruminansia seperti sapi dan kambing ketika mikroorganisme memecah makanan dan melepaskan metana lewat sendawa. Bakteri anaerobik menguraikan kotoran dan menghasilkan metana serta dinitrogen oksida (Nâ‚‚O), yang memiliki daya pemanasan jauh lebih tinggi dibanding COâ‚‚. Metana memiliki daya pemanasan 28 kali lebih kuat dari COâ‚‚, sedangkan Nâ‚‚O mencapai 265 kali lipat.

Petani atau masyarakat memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk organik dalam pertanian, baik secara langsung maupun setelah memfermentasikannya. Beberapa teknologi modern mengolahnya menjadi biogas untuk memasak atau menghasilkan listrik. Sayangnya, karena keterbatasan investasi dan pelatihan, pemanfaatan biogas masih minim, terutama di daerah pedesaan. Akibatnya, masyarakat membiarkan banyak kotoran menumpuk atau mencemari sungai, sehingga memperparah pencemaran dan pemanasan global.

Deforestasi sebagai Kegiatan Pemicu Pemanasan Global

Manusia menebang dan membakar hutan untuk membuka lahan pertanian, permukiman, dan industri kayu. Saat pohon-pohon hilang tanpa upaya penanaman kembali, karbon yang sebelumnya tersimpan dalam tanaman dilepaskan ke atmosfer dalam bentuk COâ‚‚. Aktivitas ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga meningkatkan emisi gas rumah kaca secara drastis.

Perusahaan membuka hutan untuk perkebunan kelapa sawit, peternakan, atau pertambangan, sementara praktik penebangan liar terus terjadi karena lemahnya pengawasan. Hutan tropis yang seharusnya menyerap karbon justru berubah menjadi sumber emisi. Saat pohon-pohon dibakar atau membusuk, karbon yang mereka simpan selama puluhan tahun pun menguap ke udara.

Hutan membantu menyerap karbon dioksida melalui fotosintesis dan menjaga suhu serta kelembapan lingkungan. Ketika deforestasi terjadi, bumi kehilangan penyerap karbon alami, iklim lokal menjadi tidak stabil, dan risiko bencana seperti kekeringan dan banjir meningkat. Selain itu, lahan bekas hutan yang diubah menjadi area pertanian atau peternakan juga menghasilkan metana dan Nâ‚‚O dalam jumlah besar. FAO mencatat, dunia kehilangan sekitar 10 juta hektare hutan setiap tahun. Tanpa langkah reboisasi yang besar, deforestasi akan mempercepat perubahan iklim secara drastis.

Global warming juga menjadi penyebab masalah kesehatan menurut WHO. Akses materi lengkapnya di Ebook Fitri Akses Ebook Pelajaran Gratis

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top